Tujuan Kegiatan
Pembelajaran 1:
Setelah
melakukan kegiatan pembelajaran 1 pada
modul E, maka:
1. Peserta
memahami pengertian film dengan cermat
2. Peserta
memahami jenis-jensi film dengan cermat dan teliti
Indikator yang harus
dicapai:
Kompetensi
yang harus dicapai peserta setelah melakukan kegiatan pembelajaran 1 :
1. Peserta
dapat menjelaskan materi tentang pengertian film
2. Peserta
dapat menjelaskan jenis – jenis film
1. Pengertian Film
Pengertian Film secara Umum
Film adalah gambar yang bergerak. Adapun
pergerakannya disebut sebagai intermitten
movement, gerakan yang muncul hanya karena keterbatasan kemampuan mata dan
otak manusia menangkap sejumlah pergantian gambar dalam sepersekian detik. Film
menjadi media yang sangat berpengaruh, melebihi media-media yang lain, karena
secara audio dan visual bekerja sama dengan baik dalam membuat penonton tidak bosan
dan lebih mudah mengingat, karena formatnya yang menarik.
Pengertian Film Secara
Harfiah
Pengertian secara harafiah film (sinema) adalah
Cinemathographie yang berasal dari Cinema + tho = phytos (cahaya) + graphie =
grhap (tulisan = gambar = citra), jadi pengertiannya adalah melukis gerak
dengan cahaya. Agar dapat melukis gerak dengan cahaya, harus menggunakan alat
khusus, yang biasa disebut dengan kamera.
Pengertian Film Menurut
Nugroho
Film
adalah gambar-hidup yang juga sering disebut movie. Film secara kolektif sering
disebut sebagai sinema. Sinema bersumber dari kata kinematik atau gerak. Film
juga sebetulnya merupakan lapisan-lapisan cairan selulosa, biasa di kenal di
dunia para sineas sebagai seluloid. (Nugroho, 2013).
Pengertian Film menurut
UU 8/1992
Flm adalah karya cipta seni dan
budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat
berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video,
piringan video, dan/atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala
bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau
proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan/atau
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, dan/atau lainnya.
2. Sejarah Film Internasional
Film
pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar, berlangsung di
Grand Cafe Boulevard de Capucines,
Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menSaudarai
lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra
bergerak" atau film sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan
sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di
Grand Cafe ini yang menandai lahirnya film pertama di dunia.
Film yang
ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan
‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting
sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce
dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah
lempengan timah yang tebal.
Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan
Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam), pada tahun
1887 terinspirasi untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi)
gambar. Edison dibantu oleh George Eastman, yang kemudian pada tahun 1884
menemukan pita film (seluloid) yang
terbuat dari plastik tembus pSaudarang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal
Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada
siang hari.
Alat yang
dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak
berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Lumiere
bersaudara kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat
memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut
peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatenkan
pada tahun 1895.
Pada
peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan
setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari
lampu proyektor. Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut
telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat, misalnya: adegan
kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman
dan sebagainya.
Film
pertama kali dipertontonkan untuk khalayak umum dengan membayar, berlangsung di
Grand Cafe Boulevard de Capucines,
Paris, Perancis pada 28 Desember 1895. Peristiwa ini sekaligus menSaudarai
lahirnya film dan bioskop di dunia. Meskipun usaha untuk membuat "citra
bergerak" atau film sendiri sudah dimulai jauh sebelum tahun 1895, bahkan
sejak tahun 130 masehi, namun dunia internasional mengakui bahwa peristiwa di
Grand Cafe ini yang menandai lahirnya film pertama di dunia.
Sejak
ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan
perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya, hanya
dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan sebutan “film
bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film
bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz
Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York,
Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.
Perubahan
dalam industri perfilman jelas nampak pada teknologi yang digunakan. Jika pada
awalnya film berupa gambar hitam putih, bisu dan sangat cepat, kemudian
berkembang hingga sesuai dengan sistem penglihatan mata, berwarna, dan dengan
segala macam efek-efek yang membuat film lebih dramatis dan terlihat lebih
nyata.
Pada
perkembangan selanjutnya, film tidak hanya dapat dinikmati di bioskop dan
berikutnya di televisi, namun juga dengan kehadiran VCD dan DVD (Blue-Ray),
film dapat dinikmati di rumah dengan kualitas gambar yang baik, tata suara yang
ditata rapi, yang diistilahkan dengan home
theater. Dengan perkembangan internet, film juga dapat disaksikan lewat
jaringan Superhighway. Film kemudian
dipandang sebagai komoditas industri oleh Hollywood, Bollywood, dan Hongkong.
Di sisi
yang lain, film dipakai sebagai media penyampai dan produk kebudayaan. Hal ini
bisa dilihat di negara Prancis (sebelum 1995), Belanda, Jerman, dan Inggris.
Dampaknya adalah film akan dilihat sebagai artefak budaya yang harus
dikembangkan, kajian film membesar, eksperimen-eksperimen pun didukung oleh
negara. Kelompok terakhir menempatkan film sebagai aset politik untuk media
propaganda negara. Oleh karena itu di Indonesia Film berada di bawah pengawasan
departemen penerangan dengan konsep lembaga sensor film. Bagi Amerika Serikat,
meskipun film-film yang diproduksi berlatar belakang budaya Amerika, tetapi
film-film tersebut merupakan ladang ekspor yang memberikan keuntungan cukup
besar.
3. Sejarah Perkembangan Film di Indonesia
Film
Indonesia pertama kali dikenalkan pada 5 Desember 1900 di Batavia (Jakarta).
Pada masa itu film disebut “Gambar Idoep". Pertunjukkan film pertama
digelar di Tanah Abang dengan tema film dokumenter yang menggambarkan
perjalanan Ratu dan Raja Belanda di Den Haag. Namun pertunjukan pertama ini
kurang sukses karena harga karcisnya dianggap terlalu mahal. Sehingga pada 1
Januari 1901, harga karcis dikurangi hingga 75% untuk merangsang minat
penonton.
Film
cerita pertama kali dikenal di Indonesia pada tahun 1905 yang diimpor dari
Amerika. Film-film impor ini berubah judul ke dalam bahasa Melayu, dan film
cerita impor ini cukup laku di Indonesia, dibuktikan dengan jumlah penonton dan
bioskop pun meningkat. Daya tarik tontonan baru ini ternyata mengagumkan.
Film
lokal pertama kali diproduksi pada tahun 1926, dengan judul “Loetoeng
Kasaroeng” yang diproduksi oleh NV Java Film Company, adalah sebuah film cerita
yang masih bisu. Agak terlambat memang, karena pada tahun tersebut di belahan
dunia yang lain, film-film bersuara sudah mulai diproduksi.
Kemudian,
perusahaan yang sama memproduksi film kedua dengan judul “Eulis Atjih”. Setelah
film kedua ini diproduksi, kemudian muncul perusahaan-perusahaan film lainnya
seperti Halimun Film Bandung yang membuat Lily van Java dan Central Java Film
(Semarang) yang memproduksi “Setangan Berlumur Darah”.
Untuk
lebih mempopulerkan film Indonesia, Djamaludin Malik mendorong adanya Festival
Film Indonesia (FFI) I pada tanggal 30 Maret-5 April 1955, setelah sebelumnya
pada 30 Agustus 1954 terbentuk PPFI (Persatuan Perusahaan Film Indonesia).
Kemudian film “Jam Malam” karya Usmar Ismail tampil sebagai film terbaik dalam
festival ini. Film ini sekaligus terpilih mewakili Indonesia dalam Festival
Film Asia II di Singapura. Film ini juga dianggap karya terbaik Usmar Ismail.
Sebuah film yang menyampaikan kritik sosial yang sangat tajam mengenai para
bekas pejuang setelah kemerdekaan.
Pertengahan
‘90-an, film-film nasional yang tengah menghadapi krisis ekonomi harus bersaing
keras dengan maraknya sinetron di televisi-televisi swasta. Apalagi dengan
kehadiran Laser Disc, VCD dan DVD yang makin memudahkan masyarakat untuk
menikmati film impor. Namun di sisi lain, kehadiran kamera-kamera digital
berdampak positif juga dalam dunia film Indonesia, karena dengan adanya kamera
digital, mulailah terbangun komunitas film-film independen. Film-film yang
dibuat di luar aturan baku yang ada. Film-film mulai diproduksi dengan spirit
militan. Meskipun banyak film yang kelihatan amatir namun terdapat juga
film-film dengan kualitas sinematografi yang baik, tetapi film-film independen
masih belum memiliki jaringan peredaran yang baik, sehingga film-film ini hanya
bisa dilihat secara terbatas dan di ajang festival saja. Salah satu film yang
mendapat pengakuan dunia adalah film Laskar Pelangi.
Pada
tanggal 19 Desember 2009, film “Laskar Pelangi” meraih penghargaan sebagai film
terbaik se-Asia Pasifik di Festival Film Asia Pasifik yg diselenggarakan di
Taiwan. Film ini memberikan semangat baru dalam pembuatan film di Indonesia.
4. Klasifikasi Film
Menurut Jenis Cerita
Film
a.
Film Fiksi
Film cerita (fiksi), merupakan
film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan
oleh aktor dan aktris. Sebagian besar atau pada umumnya film cerita bersifat
komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop
dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung
bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila
ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu
pula.
b.
Film Non Fiksi (Film Non Cerita)
Film non cerita adalah film yang
mengambil kenyataan sebagai subyeknya. Film non cerita ini terbagi atas dua
kategori, yaitu:
·
Film
Faktual: menampilkan fakta atau kenyataan yang ada, dimana kamera sekedar
merekam suatu kejadian. Sekarang, film faktual dikenal sebagai film berita (news-reel), yang menekankan pada sisi
pemberitaan suatu kejadian aktual.
·
Film
dokumenter: selain fakta, juga mengandung subyektifitas pembuat yang diartikan
sebagai sikap atau opini terhadap peristiwa, sehingga persepsi tentang
kenyataan akan sangat tergantung pada si pembuat film dokumenter tersebut.
Menurut Cara Pembuatan
a.
Film Eksperimental
Film Eksperimental adalah film
yang dibuat tanpa mengacu pada kaidah-kaidah pembuatan film yang lazim.
Tujuannya adalah untuk mengadakan eksperimentasi dan mencari cara-cara
pengucapan baru lewat film. Umumnya dibuat oleh sineas yang kritis terhadap
perubahan (kalangan seniman film), tanpa mengutamakan sisi komersialisme, namun
lebih kepada sisi kebebasan berkarya.
b.
Film Animasi
Film Animasi adalah film yang
dibuat dengan memanfaatkan gambar (lukisan) maupun benda-benda mati yang lain,
seperti boneka, meja, dan kursi yang bisa dihidupkan dengan teknik animasi.
Menurut Tema Film (Genre)
a.
Drama
Tema ini lebih menekankan pada sisi human interest yang bertujuan mengajak
penonton ikut merasakan kejadian yang dialami tokohnya, sehingga penonton
merasa seakan-akan berada di dalam film tersebut. Tidak jarang penonton yang
merasakan sedih, senang, kecewa, bahkan ikut marah.
b.
Action
Tema action
mengetengahkan adegan-adegan perkelahian, pertempuran dengan senjata, atau
kebut-kebutan kendaraan antara tokoh yang baik (protagonis) dengan tokoh yang jahat (antagonis), sehingga penonton ikut merasakan ketegangan, was-was, takut, bahkan bisa ikut bangga
terhadap kemenangan si tokoh.
c.
Komedi
Tema film komedi intinya adalah mengetengahkan
tontonan yang membuat penonton tersenyum, atau bahkan tertawa terbahak-bahak.
Film komedi berbeda dengan lawakan, karena film komedi tidak harus dimainkan
oleh pelawak, tetapi pemain biasa pun bisa memerankan tokoh yang lucu.
d.
Tragedi
Film yang bertemakan tragedi, umumnya mengetengahkan
kondisi atau nasib yang dialami oleh tokoh utama pada film tersebut. Nasib yang
dialami biasanya membuat penonton merasa kasihan/prihatin/iba.
e.
Horor
Film bertemakan horor selalu menampilkan
adegan-adegan yang menyeramkan, sehingga membuat penontonnya merinding karena
perasaan takutnya. Hal ini karena film horor selalu berkaitan dengan dunia
gaib/magis, yang dibuat dengan special
effect, animasi, atau langsung dari tokoh-tokoh dalam film tersebut.
Menurut
Orientasi pembuatan film, terbagi dua :
1. Film
komersil
2. Film
Non Komersil
5. Film Mainstream
Pengertian
Istilah film ‘mainstream’ ditujukan kepada film-film yang diproduksi oleh
studio-studio besar yang bertujuan menghibur masyarakat dengan meraup
keuntungan sebesar-besarnya, dan biasanya berdurasi panjang (90-100 menit).
Film-film mainstream lebih dianggap barang dagangan (industri) daripada
dianggap sebagai sebuah karya seni.
Karakter
Film ‘Mainstream’
Ada beberapa karakter khas film
‘mainstream’ yang umumnya menjadi acuan:
a. Non
Teknis
Secara non teknis film
‘mainstream’ dibagi menurut ide atau
tema. Ide atau tema yang dipakai
adalah tema-tema yang sedang populer di masyarakat, karena bertujuan ‘komersial’
(umumnya mengangkat kisah heroik dan percintaan).
Alur cerita dibagi dalam 4
bagian:
1.
Pembuka:
berisi perkenalan tokoh (baik protagonis maupun antagonis). Pada akhir babak
ini biasanya dimunculkan masalah yang dialami tokoh utama protagonis.
2.
Tengah:
merupakan pengembangan masalah yang biasanya disusun dengan berliku-liku
(panjang).
3.
Klimaks:
merupakan puncak dari permasalahan dan penyelesaiannya.
4.
Babak
penutup: merupakan akhir cerita yang biasanya dibuat agar penonton ikut
merasakan kebahagiaan/kemenangan dari tokoh utama (happy ending).
b. Secara
teknis,
Karakter film ‘mainstream’
adalah:
·
Menggunakan
bahan selluloid (minimal film 35 mm) agar dapat diputar di bioskop.
·
Memiliki
jaringan kerjasama yang jelas dan luas, baik pada saat pra-produksi, produksi
sampai ke tahap distribusi film dengan tujuan utama keuntungan secara materi.
·
Modal/dana
disediakan oleh orang atau instansi tertentu yang berposisi sebagai produser.
·
Menggunakan
sistem bintang, maksudnya pemeran film sudah dikenal oleh masyarakat (public figure) dengan tujuan menarik
minat penonton.
·
Ada
proses sensor dari lembaga perfilman yang terkait, dengan tujuan menyaring
bagian film yang dianggap tidak baik untuk dikonsumsi masyarakat umum.
6. Pelaku Industri Film
Berikut
adalah beberapa posisi dan tanggung jawab pada kru pembuat film:
1.
Produser
Dalam
bukunya yang berjudul People Who Makes
Movies, Theodore Taylor menyebut produser sebagai “Orang dagang tapi
kreatif”. Produser adalah orang yang mengepalai studio. Orang ini memimpin
produksi film, menentukan cerita dan biaya yang diperlukan serta memilih
orang-orang yang harus bekerja untuk film yang dibuat di studionya.
2.
Sutradara
Sutradara
terkemuka Amerika, Arthur Penn, menyebut sutradara sebagai orang yang menulis
dengan kamera (Theodore Taylor, People Who Make Movies, hal.21). Sutradara
adalah orang yang memimpin proses pembuatan film (syuting), mulai dari memilih
pemeran tokoh dalam film, hingga memberikan arahan pada setiap kru yang bekerja
pada film tersebut sesuai dengan skenario yang telah dibuat.
3.
Penulis Skenario
Orang
yang mengaplikasikan ide cerita ke dalam tulisan, dimana tulisan ini akan
menjadi acuan bagi sutradara untuk membuat film. Pekerjaan penulisan skenario
tidak selesai pada saat skenario rampung, karena tidak jarang skenario itu
harus ditulis ulang karena produser kurang puas.
4.
Penata Fotografi
Penata
fotografi adalah nama lain dari juru kamera (cameraman), orang yang benar-benar memiliki pengetahuan dan ahli
dalam menggunakan kamera film. Dalam menjalankan tugasnya mengambil gambar (shot), seorang juru kamera berada di
bawah arahan seorang sutradara.
5.
Penyunting
Penyunting
adalah orang yang bertugas merangkai gambar yang telah diambil sebelumnya
menjadi rangkaian cerita sesuai dengan skenario yang telah dibuat. Pada proses
ini, juga dilakukan pemberian suara (musik) atau special effect yang diperlukan
untuk memperkuat karakter gambar atau adegan dalam film.
6.
Penata Artistik
Penata
artistik dapat dibedakan menjadi penata latar, gaya, dan rias.
·
Penata latar: menyiapkan
suasana/dekorasi ruang sesuai dengan skenario adegan yang diinginkan.
·
Penata gaya: membantu sutradara untuk
memberikan arahan gaya kepada pemain.
·
Penata rias: orang yang bertugas
membantu pemeran untuk merias wajah dan rambut, hingga menyiapkan pakaian
(kostum) yang akan digunakan.
7.
Pemeran
Posisi
pemeran yang juga disebut sebagai bintang film ini, secara kelembagaan,
tidaklah begitu penting karena seorang pemeran harus tunduk dan melakukan
segala arahan yang diberikan oleh sutradara. Namun, karena cerita film sampai
pada penonton melalui bintang film tersebut, di mata penonton justru bintang
film itulah yang paling penting, dan sangat
menentukan.
8.
Publicity Manager
Menjelang,
selama, dan sesudah sebuah film selesai dikerjakan, para calon penonton harus
dipersiapkan untuk menerima kehadiran film tersebut. Pekerjaan ini dipimpin
oleh seorang yang tahu betul melakukan propaganda, dan sebutannya adalah publicity manager.
7. Film Independen (Indie)
Pengertian Kata independen
(bahasa Inggris) yang berarti: merdeka, berdiri sendiri, berjiwa bebas, tidak
dikuasai/dipengaruhi kekuatan lain. Kata ‘indie’, dalam film indie, mengartikan
semangat kebebasan dan kemandirian para pembuat film dalam berkarya, yang lebih menekankan film
sebagai media untuk menyampaikan pesan dan mengekspresikan kesenimanan seorang
pembuat film, bukan ladang ‘komersialisme’ bagi para pemilik modal.
Film Independen di Indonesia
Film independen (indie) yang
dimaksud adalah film-film alternatif di luar film-film ‘mainstream’, yang produksi dan distribusinya berdasarkan semangat
independen para pembuat film yang
cenderung berkarakter dekonstruktif dan eksperimental.
Karakter Film Independen
Film indie umumnya menawarkan
tema-tema yang beragam, yang tidak ditemui di film-film pada umumnya yang
cenderung latah dan mengekor film-film yang telah sukses. Tema-tema sederhana,
yang justru dengan kesederhanaannya dapat menembus ketidaksederhanaan, yang
luput dari perhatian masyarakat. Karena sifatnya sebagai alternatif, bukan
komersil, membuat film indie penuh dengan eksplorasi subyektif dari si pembuat.
Berdasarkan durasi atau lamanya sebuah film dapat dibagi
sebagai berikut:
1.
Film Pendek
Durasi film
cerita pendek biasanya di bawah 60 menit. Di banyak negara seperti Jerman,
Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan juga Indonesia, film cerita pendek
dijadikan laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang/sekelompok
orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak
dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang/kelompok yang menyukai
dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik. Sekalipun demikian, ada
juga yang memang mengkhususkan diri untuk memproduksi film pendek, umumnya
hasil produksi ini dipasok ke rumah-rumah produksi atau saluran televisi yang
nantinya akan menayangkan film tersebut.
2.
Film Panjang
Film dengan
durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar
di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini. Beberapa film, misalnya “Dances With Wolves”, bahkan berdurasi
lebih 120 menit. Film-film produksi India rata-rata berdurasi hingga 180 menit.
Film panjang ini juga termasuk di dalamnya film animasi.
8. Perbedaan Seni Peran Film dengan Seni Teater
Perbedaan seni peran film (drama,
sandiwara, sinetron,dll) dengan seni peran teater adalah:
·
Film
(drama, sandiwara):
a.
Film
tidak memerlukan pengucapan vokal yang cukup kuat, karena diperkuat atau
diambil oleh microphone.
b.
Emosi
tidak perlu kuat, karena akan diperkuat oleh kamera yang mengambil secara short
shot atau close up.
c.
Make
up cukup tipis, karena akan diperkuat oleh kamera.
d.
Pengambilan
adegan secara partial atau sebagian-sebagian yang dipotong-potong menjadi
sangat pendek-pendek sesuai dengan yang akan di ceritakan, sehingga adegan yang
salah bisa diulang-ulang hingga mencapai seperti yang dikehendaki oleh
sutradara.
·
Teater
a.
Pengucapan
vokal harus sangat kuat, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan vokal
harus terdengar hingga penonton di barisan yang paling belakang.
b.
Emosi
atau perasaan harus ekstrem, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan
emosi atau perasaan harus terlihat hingga penonton di barisan paling belakang.
c.
Make
up harus ekstrem, karena penampilan dilakukan di atas panggung dan make up
harus terlihat hingga penonton di barisan paling belakang.
d.
Adegan
dari awal hingga akhir penampilan atau show harus sempurna, karena tidak ada
jeda atau pengulangan bagi adegan yang salah. Melakukan kesalahan pada satu
adegan atau dialog, maka akan merusak semua performa yang sedang ditampilkan.
Komentar
Posting Komentar